Pendahuluan
Sejak awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulakan gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.
A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
B. Manusia dan Agama
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran
yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan papa fitarah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]
C. Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prsedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M.Buchori, 1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.[7]
Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
D. Macam-macam Terapi
Dadang hawari membagi terapi dalam beberapa bentuk:[8]
1. Terapi holistik, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan kepada gangguan jiwannya saja tetapi juga aspek-aspek lainnya dari pasien, sehingga pasien diobati secara menyeluruh, baik dari segi oraganobiologik, psikologik, psikososial, maupun spritualnya.
2. Psikoterapi psikiatrik. Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dan memperkuat fungsi ego. Terapi ini misalnya, dengan menggunakan metode wawancara dengan efisien sehingga pasien dapat mengungkapkan secara bebas permasalahan, konflik, dan uneg-uneg yang dihadapinya, dengan jaminan kerahasiaan.
3. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.
4. farmakoterapi (psikoarmaka), yaitu terapi dengan menggunakan obat. Terapi ini bisanya diberikan oleh dokter dengan memberikan resep obat pada pasien.
5. Terapi somatic, yaitu terapi dengan memberikan obat-obatan yang ditujukan pada keluhan atau kelainan fisik/organic pasien.
6. Terapi relaksasi, yaitu terapi yang diberikan kepada pasien yang mudah disugesti. Terapi ini lazimnya digunakan oleh terapis yang menggunakan hipnotis.
7. Terapi perilaku. Terapi ini dimaksudkan agar pasien berubah, baik sikap maupun prilakunya terhadap objek atau situasi yang menakutkan. Prinsip yang dilakukan adalah desentralisasi, agar pasien tidak lagi sensitif atau reaktif terhadap objek atau situasi yang membuatnya menderita tersebut.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tari kesimpulan:
· Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
· Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
· Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 4
[2]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 142
[3]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 154
[4]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 154
[5]Jalaludin ,Psikologi Agama,… hlm. 159-160
[6]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 161
[7] Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 161
[8]Dadang Hawari, Alquran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hlm, 66-74.
Sabtu, 24 Mei 2008
Langganan:
Postingan (Atom)