Rabu, 25 Juni 2008

Tugas Resume Metodologi Penelitian ke-5

PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Pengertian dan Fungsi Perumusan Masalah
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, meliputi perumusan masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.
Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu Fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian.
Perumusan masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai di lapangan. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti.
Keputusan memilih data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.
Kriteria-kriteria Perumusan Masalah
Ada setidak-tidaknya tiga kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian yaitu kriteria pertama dari suatu perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris, yaitu yang menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam kehidupan manusaia.
Kriteria Kedua dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan dengan upaya pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti pemecahannya secara jelas, diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik yang berarti, baik sebagai pencipta teori-teori baru maupun sebagai pengembangan teori-teori yang sudah ada.
Kriteria ketiga, adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual, sehingga pemecahannya menawarkan implikasi kebijakan yang relevan pula, dan dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan masalah bagi kehidupan manusia.
Berkenaan dengan penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa variasi, antara lain (1) Ada yang menempatkannya di bagian paling awal dari suatu sistematika peneliti, (2) Ada yang menempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah tujuan penelitian.
Di manapun rumusan masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak akan mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan, karena yang penting adalah bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul dan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.

Sumber: http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kupas-tuntas-metode-penelitian-kualitatif-bag-1/

Tugas Resume Metodologi Penelitian ke-4

PENELITIAN KUALITATIF

Pengertian Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif (termasuk penelitian historis dan deskriptif)adalah penelitian yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif.
Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:
1) Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2) Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara.
3) Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4) Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5) Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif.
6) Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
7) Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
8) Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
9) Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
10) Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
11) Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
12) Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
13) Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
14) Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
15) Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.
Dasar Teoritis Penelitian
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:
- Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
- Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
- Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
- Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Sumber: http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kupas-tuntas-metode-penelitian-kualitatif-bag-1/

Tugas Resume Metodologi Penelitian ke-3

Nama : Ahmad Sidrotul Muntaha
Nim : 106011000060
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Semester : IVB
Tugas : Resume Metodologi Penelitian ke- 3

PENELITIAN KUANTITATIF

Penelitian kuantitatif adalah jenis penelitian yang hasil temuannya diperoleh melalui hitungan atau statistik atau berbasis pada angka. Sedangkan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
A. Paradigma dan Prosedur Kuantitatif
Penelitian kuantitatif biasanya dipakai untuk menguji suatu teori, untuk menyajikan suatu teori, untuk menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistic, untuk menunjukan hubungan antar variable, dan ada pula yang bersifat mengembangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal. Metode yang sering digunakan adalah experimental, deskripsi, survey dan menemukan korelasional. Penelitian kuantitatif menyajikan proposal yang bersifat lengkap, rinci, prosedur yang sepesifik, literature yang lengkap dan hipotesis yang lengkap dan hipotesis yang dirumuskan dengan jelas.
B. Step-step Penelitian Kuantitatif
1. Identifikasi Masalah
Masalah dapat diartikan sebagai penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa-apa yang benar terjadi. Masalah penelitian adalah sebuah pertannyaan yang memerlukan jawaban berupa penjelasan yang dapat dirumuskan melalui proses penelitian, baik penejelasan deskriptif tentang suatu variabel atau fenomena tertentu maupun penjelasan tentang hubungan antar variabel.
2. Merumuskan Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya. Hipotesia merupakan kristalisasi dari kesimpulan teoritik yang diperoleh telaah pustaka. Secara statistik. Hipotesis merupakan pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.
3. Mendefinisikan Istilah
4. Melakukan Penelitian atau Observasi lapangan
Masalah penelitian dapat diperoleh dengan cara melakukan pengamatan dalam kehidupan sekeliling kita. Peneliti harus memiliki pengamatan yang jeli terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam lingkungannya dan mempertanyakan hal itu bisa terjadi.
5. Analisa Data
6. Mengambil Kesimpulan
Masalah itu harus dirumuskan yaitu berupa pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Apabila tidak mempertanyakan hubungan antar variabel maka masalah tersebut tidak dianggap masalah ilmiyah.
Buku Sumber:
Nuraida, Metodologi Penelitian, Ciputat: Aulia Publishing House, 2008

Selasa, 24 Juni 2008

MENJADI GURU PROFESIONAL

Tugas Ujian Akhir Semester
Nama Peneliti/Nim
1. Ahmad Sidrotul Muntaha : 106011000060 PAI/IVB
2. Ahmad Syaikhu : 106011000062 PAI/IVB
3. Ali Rif’an : 106011000069 PAI/IVB
4. Deden Rahman Budiman : 106011000079 PAI/IVB

Latar Belakang Masalah
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan cerminan rendahnya kualitas sistem pendidikan nasional. Rendahnya kualitas dan kompetensi guru secara umum, semakin membuat laju perkembangan pendidikan belum maksimal. Guru kita dianggap belum memiliki profesionallitas yang baik untuk kemajuan pendidikan secara global. Salah satu kambing hitam yang jadi penyebab semua ini adalah rendahnya kesejahteraan Guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa inggris yaitu profession atau bahasa latin proficus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Sedangkan secara terminology profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan disini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melaksanakan perbuatan praktis.
Istilah “Profesionalisme” berasal dari Profession. Profession mengandung arti sama dengan kata Occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.[1]
Berdasarkan penjelaasan tersebut dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru agama merupakan kemampuan akademis dalam melakukan sesuatu di bidang keguruan, meliputi : menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media atau sumber, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran dalam melakukan tugas pendidikan agama sebagai guruagama serta memilki kemampuan yang lain yaitu kemampuan personal dan social.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru adalah kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.[2]
Yang dimaksud dengan penguasaan materi secara luas dan mendalam dalam hal ini termasuk penguasaan kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai.
Rumusan Masalah & Kegunaan Penelitian
Masalah utama yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: (1) Ciri-ciri guru yang profesinal. (2) Bagai mana sikap seorang guru profesional dalam menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong kreativitas belajar pada siswa. (3) Bagaimana kualitas dosen-dosen di UIN Syarif Hidayatullah khususnya di Jurusan Pendidikan Agama Islam
Penelitian bertujuan untuk menemukan (1) kriteria dan ciri-ciri guru yang profesional dalam profesinya sebagai guru, yang patut di gugu dan di tiru oleh murid-muridnya. (2) Mengetahui proses pembelajaran dan penilaian yang dilakukan oleh guru profesional.
Hasil penelitian ini di harapkan akan berguna bagi pembinaan dan pembagunan guru menjadi guru yang profesional dalam menjalankan profesinya sebagai seorang guru. Selain itu penelitian ini juga memberikan kontribusi kepada UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang disahkan pemerintah pada tanggal 30 Desember 2005.
Metode Penelitian
Pendekatan: penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu sebagai mana yang didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.”[3]
Kemudian dengan pendekatan kualitatif ini berupaya menarik makna dari berbagai keterangan dan pernyataan dari subjek penelitian yang ditetapkan dengan random sampling, yakni dosen-dosen yang ahli dalam bidang pendidikan yang dianggap memenuhi kualitas untuk memberikan informasi penelitian sebagai wakil dari subjek yang lain.
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Interview: instumen ini digunakan dalam rangka memperoleh data lapangan dengan cermat, terutama dalam menarik data dari para dosen yang ahli dalam bidang pendidikan, dan alumni UIN sendiri yang concern dalam dunia pendidikan kita.
2. Observasi: untuk memperoleh gambaran mengenai guru-guru yang profesional kami melakukan observasi ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan melihat secara langsung kegiatan belajar mengajar disana.
Adapun langkah-langkah penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap (1) pengumpulan data, (2) kalssifikasi data, (3) analisis data, (4) dan penarikan kesimpulan.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dimana peneliti adalah instrumen atau alat analisis yang dapat dilakukan secara bersamaan ketika melakukan penelitian.
Temuan Penelitian
1. Kualitas Guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3% nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang di hasilakan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.[4]
2. Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
Apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP, dimana berdasarkan laporan, “Human Devlopment Report 2004”, tersebut dinyatakan bahwa angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia mencapai 12,1%. Ini berarti dari setiap 100 orang Indonesia dewasa yang berusia 15 tahun ke atas, ada 12 orang yang tidak bisa membaca. Angka ini relatif jauh lebih tinggi, apabila kita bandingkan dengan negara-negara lain, seperti Thailand (7,4%), Brunai Darussalam (6,1%) dan Jepang (0,0%).
Pada tahun yang sama (2004), UNDP juga telah mengeluarkan laporannya tentang kondisi HDI (Human Development Indeks) di Indonesia. Dalam laporan tersebut, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia yang menempati urutan ke- 59, Thailand yang menempati urutan ke- 76 dan Philiphina yang menempati urutan ke- 83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Sebuah negara yang baru saja keluar dari konflik politik besar dan baru memulai untuk berbenah diri namun sudah memperlihatkan hasilnya karena membagun tekad dan kesungguhan hati.[5]
Salah satu ciri guru yang profesional ialah bahwa guru itu harus meningkatkan profesionalnya secara terus menerus. Adapun secara umum ciri-ciri guru yang profesional ialah :
Jabatan guru adalah tugas memanusiakan manusia dan lebih dari sekedar mencari nafkah, maksudnya adanya komitmen mereka sendiri untuk menjunjung tinggi martabat kemanusiaan lebih dari pada kepentingan dirinya sendiri.
Mengajar mempersyaratkan pemahaman dan keterampilan yang tepat. Guru diharapkan selalu menambah pengetahuan jabatan agar terus bertambah dalam jabatan serta memilki daya maupun keaktifan intelektual untuk mampu menjawab masalah-masalah yang dihadapi dalam setiap perubahan.
Meningkatkan dirinya setiap saat agar tumbuh dan berkembang dalam jabatan dan selalu ingin belajar lebih dalam mengenai suatu bidang keahlian.
Memilki kode etik yang disepakati.[6]
Kemudian dalam kegiatan wawancara yang kami lakukan dengan beberapa narasumber, kami juga mendapatkan beberapa temuan mengenai guru profesional diantaranya:
Bapak Dede Sulaiman, S.Pd.I.
Beliau mengemukakan:Guru profesional itu adalah guru yang mempunyai basic keilmuan yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya ia mengajar matematika, maka seorang guru tersebut harus benar-benar menguasai ilmu matematika, misalnya fiqih ia juga harus benar-benar pakar dalam ilmu fiqih.
Selain itu seorang guru profesianal secara formal atau akademis juga harus memiliki gelar yang sesuai dengan bidangnya. Artinya, kjepada para ketika dia dia mengajar matematika seyokjanya ia harus sarjana matematika, dan begitu seterusnya.
Selain itu guru profesional harus memiliki ciri-ciri dan kriteria-kriteria yaitu:
a. Baik
Secara sederhana seoorang guru profesional harus menguasai tiga ranah dibawah ini untuk dikuasai dirinya sendiri dan diri para peserta didiknya. ketiga ranah tersebut yaitu:
- Ranah Kognitif
- Ranah Afektif
- Ranah Psikomotorik
b. Memiliki kepribadian (attitut) yang baik, karismatik, berwibawa, mampu membawa para peserta didiknya hanyut dalam penjelasannya, sabar, memiliki pengetahuan yang aktual dan komprehensif.
c. Secara moral dan etika bisa diteladani.
Pendapat beliau mengenai dosen yang ada di Jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, apakah dosen-dosennya sudah memenuhi standarisasi guru profesional?
Kalau mengenai hal ini beliau secara persis saya kurang tahu. Tapi, menurut rabaan beliau, jika dipresentase sekitar 40 persenlah dosen-dosen di UIN jakarta itu memliki standarisasi guru profesional.
Bapak Andro Media, S.Pd.I
Pendapat Bapak Andro Media mengenai guru profesional yaitu;
Guru profesional itu ya guru yang lincah, memiliki capability yang baik. yah katakanlah handal gitu.
Ciri-ciri yang harus dimiliki guru profesional itu diantaranya:
- Memiliki wawasan yang luas
- Menguasai disiplin ilmu yang ia ajarkan
- Karismatik
- Bersahaja
- Dapat menguasai kelas
- Sabar
- Disiplin
- Memiliki moral yang baik
- Bisa jadi teladan
Menurut pengamatan beliau dosen-dosen di UIN Jakarta itu sudah banyak yang profesional. Kalau dipresentase kurang lebih ada 60 persenlah. Ini hanya perkiraan saya saja lho. Sebab, dosen-dosen di UIN itu rata-rata menguasai disiplin ilmu yang di ajarkan. Misalnnya di PAI sendiri seperti pak Majid Khon dia adalah pemngajar ilmu hadis dan ia memiliki gelar hadis, contoh lagi seperti bapak Ardani, ia adalah pengajar tasawuf dan beliau benar-benar pakar dalam bidang itu, dan masih banyak lagi.
Bapak Furqan S.Pd.I
Yang dimaksud guru profesional menurut beliau yaitu; Guru yang menguasai ilmu-ilmu keguruan dan pendidikan.Baik materi, teori dan metodelogi.Dan juga harus mampu dalam tataran praktek.
Seorang guru profesional haru memiliki ciri-ciri diantaranya:
- Guru yang memiliki kompetensi, seperti menguasai ICT, Billingual.
- Dan juga harus konsisten dengan bidang yang dikuasainya.
Menurut Beliau, Guru-guru atau dosen-dosen di PAI, baru menuju ke arah profesionalisme.Terbukti dengan adanya tim pengembangan kurikulum di PAI, yaitu diteliti kembali yang kemudian disesuaikan dengan yang ada.
Pak Aef Saefulloh, S.Pd.I
Pandangan beliau mengenai guru yang profesional yaitu:
Profesionalisme
formal, right man on right place.
Maksudnya, guru adalah benar-benar seorang guru, dan ia memang sarjana pendidikan. Meskipun, mereka yang tidak sarjana pendidikan mampu mendirikan lembaga pendidikan.
Skill, atau capabelity.
Maksudnya, dalam realita, apakah semua guru mampu mengajar dengan baik di hadapan siswa. Makanya seorang guru yang profesionalisme memiliki kemampuan yang proporsionil juga ketika mengajar.
Tanggapan beliau menenai ciri-ciri guru yang profesional:
Berwawasan luas. Meliputi segala ranahnya. Kapan dimulai pendidikan, siapa saja pelopornya, bagaimana perkembangannya dll.
Kecakapan personal.
Keperibadian pendidik (akhlaq) di dalam maupun di luar sekolah. Karena seyogyanya imej seorang guru akan terus melekat kapanpun dimanapun. Dan ini nampak, lebih berat dibanding yang di atas.
Tanggapan beliau mengenai dosen-dosen yang ada di Jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; menurut data-data dua tahun yang lalu, masih belum profesionalisme, karena masih banyak dosen yang baru SI, logikanya sarjana ko menelurkan sarjana.
Belum lagi yang coba-coba, seperti Prof, yang memiliki Asdos baru SI.
Meski, ada juga dosen-dosen yang profesional, yang dilihat dari penggunaan fasilitas yang cukup piawai.
Kesimpulan
Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi disegala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius. Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas diamana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.
Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu;”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukanprinsip-prinsip profesional sebagai berikut:
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuaidengan bidang tugasnya.
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Mematuhi kode etik profesi.
Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasikerjanya.
Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secaraberkelanjutan.
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Ciri-ciri guru yang profesional ialah :
Jabatan guru adalah tugas memanusiakan manusia dan lebih dari sekedar mencari nafkah, maksudnya adanya komitmen mereka sendiri untuk menjunjung tinggi martabat kemanusiaan lebih dari pada kepentingan dirinya sendiri.
Mengajar mempersyaratkan pemahaman dan keterampilan yang tepat. Guru diharapkan selalu menambah pengetahuan jabatan agar terus bertambah dalam jabatan serta memilki daya maupun keaktifan intelektual untuk mampu menjawab masalah-masalah yang dihadapi dalam setiap perubahan.
Meningkatkan dirinya setiap saat agar tumbuh dan berkembang dalam jabatan dan selalu ingin belajar lebih dalam mengenai suatu bidang keahlian.


Pustaka Acuan
Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan keagamaan Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta : PT. Gemawindu PancaPerkasa, 2000, Cet ke-1
Agung Haryono, Tantangan Profesionaliseme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. (http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=50)
Nuraida, Metodologi Penelitian, Ciputat: Aulia Publishing House, 2008
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, cet. Ke-1
http://www.angelinasondakh.com/Articles/Education/Home%20Schooling/MEMBANGUN%20PROFESINONALISME%20GURU.doc
http://mahmuddin.wordpress.com/2008/03/24/kompetensi-profesional-guru-indonesia


[1] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, cet. Ke-1, h. 105
[2] http://mahmuddin.wordpress.com/2008/03/24/kompetensi-profesional-guru-indonesia
[3] Nuraida. Metodologi Penelitian. Aulia Publishing House, 2008. hal. 109.
[4]http://www.angelinasondakh.com/Articles/Education/Home%20Schooling/MEMBANGUN%20PROFESINONALISME%20GURU.doc

[5]http://www.angelinasondakh.com/Articles/Education/Home%20Schooling/MEMBANGUN%20PROFESINONALISME%20GURU.doc

[6] Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan keagamaan Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta : PT. Gemawindu PancaPerkasa, 200, Cet ke-1, h.100-101

Sabtu, 24 Mei 2008

Agama dan Kesehatan Mental

Pendahuluan

Sejak awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulakan gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.
A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
B. Manusia dan Agama
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran
yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan papa fitarah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]


C. Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prsedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M.Buchori, 1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.[7]
Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
D. Macam-macam Terapi
Dadang hawari membagi terapi dalam beberapa bentuk:[8]
1. Terapi holistik, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan kepada gangguan jiwannya saja tetapi juga aspek-aspek lainnya dari pasien, sehingga pasien diobati secara menyeluruh, baik dari segi oraganobiologik, psikologik, psikososial, maupun spritualnya.
2. Psikoterapi psikiatrik. Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dan memperkuat fungsi ego. Terapi ini misalnya, dengan menggunakan metode wawancara dengan efisien sehingga pasien dapat mengungkapkan secara bebas permasalahan, konflik, dan uneg-uneg yang dihadapinya, dengan jaminan kerahasiaan.
3. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.
4. farmakoterapi (psikoarmaka), yaitu terapi dengan menggunakan obat. Terapi ini bisanya diberikan oleh dokter dengan memberikan resep obat pada pasien.
5. Terapi somatic, yaitu terapi dengan memberikan obat-obatan yang ditujukan pada keluhan atau kelainan fisik/organic pasien.
6. Terapi relaksasi, yaitu terapi yang diberikan kepada pasien yang mudah disugesti. Terapi ini lazimnya digunakan oleh terapis yang menggunakan hipnotis.
7. Terapi perilaku. Terapi ini dimaksudkan agar pasien berubah, baik sikap maupun prilakunya terhadap objek atau situasi yang menakutkan. Prinsip yang dilakukan adalah desentralisasi, agar pasien tidak lagi sensitif atau reaktif terhadap objek atau situasi yang membuatnya menderita tersebut.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tari kesimpulan:
· Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
· Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
· Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 4
[2]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 142
[3]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 154
[4]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 154
[5]Jalaludin ,Psikologi Agama,… hlm. 159-160
[6]Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 161
[7] Jalaludin ,Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 161
[8]Dadang Hawari, Alquran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hlm, 66-74.

Sabtu, 26 April 2008

Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Dewasa

Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Dewasa


Pendahuluan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
I. Pengertian Dewasa dan Ciri-ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.[1] Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:[2]
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan social.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.
II. Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:[3]
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
III. Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:[4]
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:[5]

a. Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b. Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c. Menyenagi paham yang ortodoks
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:[6]
a. Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
b. Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
c. Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
- Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
- Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
- Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara social.
IV. Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.





















[1]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83

[3]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 107- 108
[4]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 124
[5]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama,…. hal. 126
[6]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 130

Rabu, 19 Maret 2008

Ayat-ayat Mutasyabihat menurut: mu’tazilah, ahl sunnah, syi’ah, salafiyah

Ayat-ayat Mutasyabihat menurut: mu’tazilah, ahl sunnah, syi’ah, salafiyah

Pendahuluan
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahluk-Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ini, secara khusus kami akan membahasnya dalam makalah kami mengenai Ayat-ayat mutasyabihat menurut: mu’tazilah, ahl sunnah, syi’ah, slafiyah.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh[1], yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Menurut pengertian yang lain yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas makna dan tujuannya karena mengandung berbagai pengertian. Baru dapat dijelaskan arti dan tujuannya apabila sudah diadakan penelitian yang mendalam oleh para muffasirin. Ayat mutasyabihat termasuk juga yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib seperti : akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan lainnya.

a. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persolan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dalam pembahasan mereka banyak memekai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”[2]
Pandangan mu’tazilah mengenai ayat-ayat mutasyabihat yaitu mereka lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal. Untuk menegaskan penilayan kaum mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat, kami mengemukakan mengenai penilaian mereka terhadap antropomorfisme. Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Beberapa contoh yang dikemukakan di sini. Misalnya, kata-kata tangan (Q.S. Shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 64) dapat di artikan nikmat. Kata wajah sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha [20]: 5) diartikan kekuasaan.[3]

A. Ahl Sunnah
Term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah. Selanjutnya term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran ini menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan: “. . . dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.[4]
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Marturidi.
a. Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-hasan ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Lahir di Basrah pada tahun 260H/875M.
b. Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944M.[5]
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberian oleh Al-Asy’ari. Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Qur’an, antralain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 [75]
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immateril. Namun melihat Tuhan kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Dalam menginterpretasikan ayat-ayat mutasyabihat, Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah bersikap moderat dan mengambil jalan tengah, dengan menetapkan semua sifat Tuhan tanpa tasybih(menyerupakan tuhan dengan materi) dan ta'thil(meniadakan sifat-sifat tuhan).
Kelompok ketiga ini (ahl al-sunnah wal-jama'ah), sangat berhati-hati dalam meninterpretasikan ayat-ayat mutasyabihat dan hadits yang banyak mengandung kata metaforis. Mereka memilih diam, "no comment". Kami beriman terhadap dzahirnya ayat, membenarkan muatan isinya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, kami tidak dipaksa untuk mengetahuinya, begitulah keluh mereka, pasrah.
Misalnya Ayat "al-Rahman 'ala al-arsy istawa" Imam Malik bin Anas, ketika ditanyakan maksud dari ayat ini, beliau hanya menjawab "istiwa itu sudah maklum, namun prakteknya tidak jelas (Majhul), tetapi kita tetap harus meyakini kebenarannya, sedangkan bertanya tentang ini bid'ah". Jawaban yang simpel ini, mensinyalir, betapa akidah hanyalah merupakan keyakinan semata tanpa harus dirasionalisasikan sebagaimana wujud manusia.

b. Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait
.Dalam hal paham keimanan mereka berbeda. Pada umumnya golongan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar --dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).
Selanjutnya kelompok syi'ah ekstrim, kelompok teolog karomiah menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan berpandangan bahwa Tuhan ada di 'arasy. Mayoritas dari pengikut doktrin ini, berpandangan bahwa Tuhan itu jisim (materi). Oleh karenanya, Tuhan pasti berada di salah satu arah di dunia ini. Tuhan berada di arah yang termulia, yakni arah atas.

B. Salafiyah
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya.[6]
Beberapa ulama salaf yang terkenal dengan pemikirannya, terutama yang berkaiatan dengan ayat-ayat mutasyabihat diantaranya:
c. Imam Ahamad bin Hanbal
Dalam memehami ayat-ayat al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.[7] Hal ini terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut,

Artinya:
“(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang besemayam di atas Arsy.”
(QS. Thaha [20]: 5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab “Istiwa di atas Arasy terserah pada Allah dan bagai mana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tida seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
d. Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis, diantara pemikirannya yaitu:[8]
- Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-Qur’an dan al-Hadits)
- Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
- Berpedapat bahwa al-Qur’an mengendung semua ilmu agama.
- Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya

[1] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Litera AntarNusa, 2006, hal. 304.
[2] Harun Nasution. Teologi Islam. UI-Press, 2002. hal. 40
[3] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam Pustaka Setia, 2003 hal. 83
[4] Harun Nasution. Teologi Islam. UI-Press, 2002. hal. 65
[5] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam Pustaka Setia, 2003 hal. 124

[6] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal 109
[7] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal. 112.
[8] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal. 115-116.