Ayat-ayat Mutasyabihat menurut: mu’tazilah, ahl sunnah, syi’ah, salafiyah
Pendahuluan
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahluk-Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ini, secara khusus kami akan membahasnya dalam makalah kami mengenai Ayat-ayat mutasyabihat menurut: mu’tazilah, ahl sunnah, syi’ah, slafiyah.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh[1], yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Menurut pengertian yang lain yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas makna dan tujuannya karena mengandung berbagai pengertian. Baru dapat dijelaskan arti dan tujuannya apabila sudah diadakan penelitian yang mendalam oleh para muffasirin. Ayat mutasyabihat termasuk juga yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib seperti : akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan lainnya.
a. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persolan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dalam pembahasan mereka banyak memekai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”[2]
Pandangan mu’tazilah mengenai ayat-ayat mutasyabihat yaitu mereka lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal. Untuk menegaskan penilayan kaum mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat, kami mengemukakan mengenai penilaian mereka terhadap antropomorfisme. Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Beberapa contoh yang dikemukakan di sini. Misalnya, kata-kata tangan (Q.S. Shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 64) dapat di artikan nikmat. Kata wajah sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha [20]: 5) diartikan kekuasaan.[3]
A. Ahl Sunnah
Term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah. Selanjutnya term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran ini menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan: “. . . dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.[4]
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Marturidi.
a. Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-hasan ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Lahir di Basrah pada tahun 260H/875M.
b. Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944M.[5]
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberian oleh Al-Asy’ari. Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Qur’an, antralain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 [75]
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immateril. Namun melihat Tuhan kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Dalam menginterpretasikan ayat-ayat mutasyabihat, Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah bersikap moderat dan mengambil jalan tengah, dengan menetapkan semua sifat Tuhan tanpa tasybih(menyerupakan tuhan dengan materi) dan ta'thil(meniadakan sifat-sifat tuhan).
Kelompok ketiga ini (ahl al-sunnah wal-jama'ah), sangat berhati-hati dalam meninterpretasikan ayat-ayat mutasyabihat dan hadits yang banyak mengandung kata metaforis. Mereka memilih diam, "no comment". Kami beriman terhadap dzahirnya ayat, membenarkan muatan isinya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, kami tidak dipaksa untuk mengetahuinya, begitulah keluh mereka, pasrah.
Misalnya Ayat "al-Rahman 'ala al-arsy istawa" Imam Malik bin Anas, ketika ditanyakan maksud dari ayat ini, beliau hanya menjawab "istiwa itu sudah maklum, namun prakteknya tidak jelas (Majhul), tetapi kita tetap harus meyakini kebenarannya, sedangkan bertanya tentang ini bid'ah". Jawaban yang simpel ini, mensinyalir, betapa akidah hanyalah merupakan keyakinan semata tanpa harus dirasionalisasikan sebagaimana wujud manusia.
b. Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait
.Dalam hal paham keimanan mereka berbeda. Pada umumnya golongan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar --dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).
Selanjutnya kelompok syi'ah ekstrim, kelompok teolog karomiah menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan berpandangan bahwa Tuhan ada di 'arasy. Mayoritas dari pengikut doktrin ini, berpandangan bahwa Tuhan itu jisim (materi). Oleh karenanya, Tuhan pasti berada di salah satu arah di dunia ini. Tuhan berada di arah yang termulia, yakni arah atas.
B. Salafiyah
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya.[6]
Beberapa ulama salaf yang terkenal dengan pemikirannya, terutama yang berkaiatan dengan ayat-ayat mutasyabihat diantaranya:
c. Imam Ahamad bin Hanbal
Dalam memehami ayat-ayat al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.[7] Hal ini terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut,
Artinya:
“(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang besemayam di atas Arsy.”
(QS. Thaha [20]: 5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab “Istiwa di atas Arasy terserah pada Allah dan bagai mana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tida seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
d. Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis, diantara pemikirannya yaitu:[8]
- Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-Qur’an dan al-Hadits)
- Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
- Berpedapat bahwa al-Qur’an mengendung semua ilmu agama.
- Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya
[1] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Litera AntarNusa, 2006, hal. 304.
[2] Harun Nasution. Teologi Islam. UI-Press, 2002. hal. 40
[3] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam Pustaka Setia, 2003 hal. 83
[4] Harun Nasution. Teologi Islam. UI-Press, 2002. hal. 65
[5] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam Pustaka Setia, 2003 hal. 124
[6] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal 109
[7] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal. 112.
[8] Rosihan Anwar. Ilmu Kalam..., hal. 115-116.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar